PETILASAN OMPAK SANGHA KARYA SIAPA?
Pak Sadimin (penjaga petilasan) menceriterakan,
bahwa ia mengantikan ayahnya sejak tahun 1989. Ayahnya bernama Pak Senen yang juga mengantikan ayahnya
(Pak Nadi Gede) sejak Tahun 1971.
Pak Nadi Gede adalah transmigran dari kabupaten Bantul Yogyakarta.
Pada
zaman Hindia Belanda, tepatnya tahun 1916 ia pindah ke Blambangan dan mendapat
bagian lahan rabasan berupa hutan belantara.ketika lahan belantara itu dibabad
ternyata terdapat batu batu besar sebanyak 49 buah dan bekas bentengnya setebal
1 m dengan panjang keliling beberapa km yang mengelilingi lahan sekitar 500 ha.
Umumnya
orang Jawa kejawen selalu sangat menghormati adanya petilasan leluhurnya.
Demikian pula pak nadi Gede sekeluarga, Sehingga petilasan itu tetap terawat
baik hinga sekarang. Baru pada 1973 petilasan ini dibuatkan tembok keliling , Kemudian
pada 1982 sisa bata merah yang morat-marit itu ditata sebagai lantai berundag.
Oleh
Pak Sadimin, Pak samsubur disodori catatan Legenda yang menyebutkan bahwa yang
memberi nama Ompak Sangha pada
petilasan itu adalah Mangkubumi IX dari Solo pada tahun 1928 kala berkunjung
kesitu, katanya Juga disebut bahwa Ompak Sangha adalah petilasan dari Kerajaan
Blambangan pada masa raja Dhedhaliputih, Jatasura, Sedhah Mirah dan Minak
Jinggo. Benar kah demikian ? Bila tidak,lalu petilasan ompak Sangha itu dari
siapa ?
Marilah
hal ini kita kaji dan simak-bahas menurut kajian dan bahasan yang masuk akal.
Bukan sekedar dongeng yang penuh khayalan belaka.
1.
MENURUT BABAD ORANG JAWA
Menurut Serat Babad Tawangalun dalam
Pupuh Asmaradahana (4.6) menyebutkan:
" Kutha ing Wijenan uni, kacatur
in wayahira, Dalem Mas Purba jenenge, wolung tahun umurira, jumeneng pangeran,
sarta jinutukan wau, nggih pangeran danurejo”
Kemudian
pada halaman (4.9) berbunyi :
" Kawarnaha kutha nenggih,
Wijenan ing laminira, nulya ngalih kuthanira, babad alas Kebrukan antara pira
laminipun, nulya dados kang Negara”
Menurut Babad Blambangan karya KRT Kartadiningrat
disebut :
" Sarehning kraton Macaputih
sampuh meh risak,dados kithanipun dhateng Wijenan, kilennipun desa Macanputih,
ing dhusun Balak (sapunika) Sareng Mas Purba sampun yuswa 8 tahun
kajumenengaken Pangeran ing Blambangan.ajejuluk Pangeran Danureja. Sang narpati
lajeng yasa kraton, malih ing Kebrukan"
(Samsubur, 1995:19)
(Samsubur, 1995:19)
2.
MENURUT PARA AHLI BELANDA
Dr, TH. Pigeaud dalam Catatan Jawa Sudut Timur,
menulis :
Bahkan
nama Macanputih hanya sedikit disebut, biasanya orang memakainya sebagai
petunjuk bagi daerah kerajaan Balambangan sebaliknya di dalam Babad Tawangalun
baru ada disebut Balambangan, ketika Pangeran Danureja diangkat menjadi Adipati
oleh orang Bali (l932: 239).
Dr. J.Brandes dalam Laporan Tentang Babad
Blambangan menulis:
Pangeran
Danureja raja yang masih muda (16 tahun) pernah membuat sebuah kota baru di Hutan Kebrukan. Dengan begitu tempat dan
nama Blambangan masih tidak terlalu tua. Ini antara lain dibantah oleh
berita-berita yang lebih tua dari Eropa,(TBG 37/1894 : 340).
C. Lekkerkerker menulis:
Raja
bawahan (Bali) yang bernama Danureja itu membuat suatu kota baru bagi dirinya
di Hutan Kebrukan di Iateng dekat
dengan Ulu Pampang (Tratas, sekarang) yaitu di pintu masuk dari Teluk Pampang
(Pangpang) Mungkin "Arya Blambangan " itu adalah sisa-sisa dari kota
Lateng.Dalam Indisch Uids , 1923 : 1043) yang berupa sisa-sisa dari
tembok-tembok suatu kota yang panjang 1.800 m dan lebar 1.000 m.
3.
MENURUT BALAI ARKEOLOGI YOGYAKARTA
Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai Dinas Purbakala Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI pada bulan Juli 1993 sebagai berikut :
a. Temuan artefak berupa stupika tanah di
Dusun Paludem desa Tembokrejo,
Kecamatan Muncar Di gumuk Klinthing di dusun tersebut juga di ketemukan Gentha
kecil (klinthing). Ini informasi dari
penduduknya.
b. Situs Gumuk Jadah terletak di dusun Palureja Desa Tembokrejo. Di sini di
ketemukan 8 buah Umpak batu sebagai penyangga tiang bangunan rumah pada masa
lalu. Di permukaan tanahnya juga diketemukan fragmen batu-bata kuna yang
berukuran relatif besar. Tata ruang situs ini bergerak sekitar 1 km di utara
situs Umpak Sangha.
c. Situs Bale kambang di dusun Sukosari, desa Blambangan kecanatan Muncar.
Tata ruang situs ini berjarak 3/4 km di barat Tembokrejo. Secara vertikal
struktur gumuk situs Balekambang ini bertingkat 3 melingkar.
d. Situs
Umpak Sangha (
Himpunan Umpak) terletak di dusun Krajan
desa Tembokrejo kec. Muncar. Situs Umpak Sangha ini ada di bagian dalam
Kawasan situs Tembokrejo. Perkiraan
luas situs Tembokrejo yang dibatasi tembok (beteng) keliling setebal 1m dengan
bahan batu karang itu sekitar 500 ha.
Tingkat kerusakan situs Umpak sangha sangat parah, karena perluasan pemukiman
penduduk dan aktivitas pembuatan bata serta persawahan. Situs Tembokrejo ini
berbatasan dengan Teluk di timur, Desa Blambangan dibarat, Dusun Sukasari di
Utara dan Dusun Kauman Kulon di Selatan. Di luar tembok keliling kawasan situs
Tembokrejo ini terdapat aliran sungai kecil. Ini dapat diperkirakan sebagai
jagang bagi seluruh bangunan kraton Blambangan dalam memperlambat serangan
musuh yang akan masuk kraton pada masa lalu. Sisa-sisa tembok keliling yang
diketemukan sekarang ini oleh penduduk setempat disebut "lungur". Situs Umpak Sangha ini diketemukan umpak batu
berjumlah 49 buah besar/kecil , artefak berupa fragmen (potongan) gerabah (
barang-barang dari tanah liat bakar) dan fragmen keramik asing.
Kesimpulan
Balai Arkeologi Yogyakarta dari belasan temuannya itu menyatakan bahwa, Situs
Tembokrejo ini menunjukan adanya pertumbuhan dan perkembangan sosial
budaya budaya Hinduistik pada masa lampau di wilayah ini (Drs. A.Q. Nawawi,
1993 :13-14).
Kita
ingat akan nama negara MAJAPAHIT. Nama ini sekaligus nama Ibukota negara, pusat
pemerintahan, pusat ekonomi,sosial, agama dan kebudayaan serta pertahanan
negara. Begitu pula nama BANYUWANGI selain sebagai nama wilayah kabupaten juga
sekaligus merangkap sebagai nama kota. Pusat pemerintahan dan tempat tinggal
raja (sri bupati), serta pusat ipolek sosbudmil (ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan militer) pada zaman VOC, Jepang maupun NKRI.
Demikian
pula nama BLAMBANGAN. Nama ini sebagai nama suatu wilayah negara namanya sudah
ada sejak Majapahit awal dengan ibukota di Lumajang dan raja pertamanyanya
adalah Arya wiraraja atau Banyak Wide (semula
adipati Madura di Sumenep). Tetapi BLAMBANGAN sebagai nama kota pusat
pemerintahan dan pusat ipoleksosbudmil adalah baru. Baru sejak Pangeran Danureja
memimpin tampuk pemerintahan, Beliaulah
yang memerintahkan untuk membangunnya untuk mendekati lalu lintas pelayaran di
selat Bali daripada di Wijenan dekat gunung raung. Dan nama BLAMBANGAN ini
terbukti sampai sekarang masih terus dipakai sebagai nama desa di Kecamatan Muncar (Semula, Desa Tembokrejo adalah wilayah Desa Blambangan
sebelum di mekarkan) Bahkan seluruh wilayah Kecamatan Muncar dulunya adalah
suatu kota/desa dengan nama BLAMBANGAN. Dan nama TEMBOKREJO, itu jelas
diambilkan dari kata tembok (beteng), sisa sisa kota Blambangan itu,
Kota
Blambangan, menurut Babad Tawangalun semula adalah hutan rimba Kebrukan. Sedang menurut C.Lekkerkerker kala itu (1700-1923 M)
Adalah masih wilayah hutan Iateng
(sebelah barat dekat Rogojampi) masih sampai ke wilayah pantai Teluk Pampang di
selatan Pelabuhan Muncar sekarang yang sekarang disebut Lo Pampang (Ulu Pampang
= Tratas, sekarang). Jadi apa yang dikatakan oleh Babad Tawangalun (babad Blambangan) dan oleh hasil penelitian C. Lekkerkerker maupun oleh hasil
penelitian Balai Aerkologi Yogyakarta
adalah BENAR dan saling melengkapi.
Walaupun' peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta belum menyatakan nama raja pembangun situs Umpak Sangha dan situs
Tembokrejo itu.
Menilik
posisi beteng/tembok luar situs tembokrejo, maka dapat disimpulkan bahwa kota /
Keraton Blambangan kala itu (1705-1763). Menghadap ke timur kearah selat bali
sebagai lalu lintas pelayaran kala itu. Tidak seperti sekarang, posisinya
menghadap ke arah barat. Posisi sekarang sudah tidak asli lagi. Sebab tembok
pagarnya saja baru dibuat sekitar tahun 1973 Posisi sekarang adalah pintu
belakangnya. Hal ini dibenarkan oleh Babad Wilis
pupuh Pangkur (II 20-24) Purwasastra, 1774) yang menyatakan bahwa, ketika Kota
Blambangan diserang oleh para pengikut Wong Agung Wilis, Raja/Pangeran Jingga
Danuningrat sekeluarga melarikan diri lewat pintu belakang, lari ke gunung arah
barat terus ke Jember.
Jika
demikian sejak kapan Petilasan Umpak
Sangha itu mulai dibangun? Bila berdasarkan data di atas dan setelah dibanding
dengan catatan VOC (kompeni Belanda) maka tahun pembangunan dan tahun
penghancurannya dapat kita rekontruksi kembali sebagaimana di bawah ini:
VOC
mencatat bahwa larinya ki Mas Macanapura dari kota Macanputih adalah tahun 1697
M bersamaan dengan datangnya tentara Bali yang dipimpin oleh Ki gusti Ngurah Panji Kertanegara dari
Buleleng. Kala itu menurut babad Tawangalun, umur Ki Mas Purba baru 8 tahun,
Ini berarti Ki Mas Purba bersama ibunya (Mas Ayu gading) dan emban mbok Cina
bersembunyi di hutan Labanjati (Labanasem sekarang) selama 5 tahun. Ini
berarti pula bahwa ia baru berumur 3 tahun ketika ayahnya (Ki Mas Sastranegara)
dibunuh di oleh kelompok Macanapura.
Kemudian,
Ki Mas Purba dilantik sebagai Raja
Blambangan di bawah Raja Buleleng
(Bali) yang disaksikan oleh KGN Panji
Kertanegara beserta prajuritnya. Nama Mas
Purba berganti menjadi Pangeran Darureja, dalam usia 8 tahun.
Sedangkan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Perdana Menterinya yaitu Ki Mas Sutanaga (Sutanangga).
Saat itu pula (1697 M) pusat pemerintahannya dipindah ke Wijenan disebelah
barat kota macan putih. Kota Macanputih dipandang tidak layak ditempati lagi
karena telah banyak rusak akibat perselisihan keluarga antara ayah dan pak
tuanya Ki Mas Purba. Dalam Babad Tawangalun disebutkan, kota Wijenan ini hanya
di tempati selama 8 tahun karena Pangeran Danureja membuat pusat pemerintahan
baru di Hutan Kebrukan dengan nama
Kota BLAMBANGAN. Wilayah Kota Blambangan ini sekarang menjadi
Desa Blambangan dan Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar.
Dari
sini dapat kita hitung, bahwa usia Ki Mas Purba (Pangeran Danureja) saat
membangun Kota BLAMBANGAN ternyata baru berumur 16 tahun. Pembangunannya membutuhkan
waktu 3 tahun mulai pelantikannya menjadi Pangeran Blambangan yaitu tahun 1697 di tambah 8 tahun adalah tahun 1709 M. Selama hidup Pangeran Danureja selalu bekerjasama
dengan Raja-Raja Bali dan Untung Surapati di Pasuruan dalam
perjuangan mengusir Kompeni Belanda dari Nusantara.
Kemudian
berapa tahun Kota BLAMBANGAN ini dapat
bertahan sebagai pusat pemerintahan kerajaan Balambangan? Dan tahun berapa Kota
BLAMBANGAN ini mengalami kehancuran yang kemudian menjadi hutan belantara lagi?
Pada
tanggal 16 April 1736 Gubernur Jendral Hindia Belanda yang bernama Abraham Patras menulis laporan kepada
Ratu Belanda ke-17, bahwa Pangeran
Danureja telah meninggal dan jenazahnya telah dibakar menurut waktu (hari
baik) sesuai dengan ajaran Agama Hindu disertai oleh 9 istrinya (selir) yang
ikut bela pati terjun ke api suci
sebagai tanda kesetiaannya pada raja sebagai wakil Tuhan kala itu. Abu
pembakarannya menurut Babad Tawangalun
( Blambangan) dicandikan di Tuban
(pantai kuta Bali ?). Hal ini kiranya benar, sebab pantai tempat lapangan udara
Tuban ini kala itu nasih merupakan wilayah kerajaan Menguwi Bali. Sedangkan bagi Raja Bali, Pangeran Danureja adalan Raja Blambangan yang paling setia dalam
perjuangan bersama mengusir Kompeni Belanda dari Nusantara. Sehingga, Babad
Blambangan menyebut Pangeran Danureja
dengan nama Dewa Nyurga.
Dengan
meninggalnya Pangeran Danureja, maka Gusti
Agung dari Menguwi segera bertolak ke Kota Blambangan beserta 400
pengikutnya. Putra Pangeran Danureja yaitu Ki
Mas Nuweng dijadikan penggantinya dengan nama Pangeran Danuningrat. Karena ia masih kanak-kanak maka
pemerintahannya dibawah perwalian (asuhan) Gusti
Agung dari menguwi itu. Pangeran
Danuningrat ini dalam dokumen kompeni Belanda disebut Pangeran Pati Mangkuningrat. Juga dengan nama tambahan sebagai Pangeran Jingga (bukan Menak Jinggo). Dalam
babad Wilis ia juga disebut Pangeran
Jingga (Purwasastra, 1774 :1.46). Pangeran Jingga Danuningrat ini sejak tahun
1745 M boleh memerintah sendiri atas ijin Gusti Agung dari menguwi Bali.
Adiknya yang bernama ki Mas Sima
diangkat menjadi Patih Blambangan dengan gelar Wong Agung Wilis (Wong Agung = Anak Agung di Bali). Ibu dari Wong
Agung Wilis adalah orang Bali yaitu kakak perempuan dari ayah dari istri Gusti
Agung Raja Menguwi.
Selama
pemerintahan kakak beradik ini, Blambangan mencapai kesejahteraan dan ketentraman.
Tetapi prestasi yang dicapai ini tidak berlangrsung lama. Bemula oleh ambisi Adipati Cakraningrat V (l745-1770 M)
untuk menguasai Blambangan Utara (antara Probolingo Panarukan) untuk menaruh
anak turunnya sebagai Bupati. Karena ambisi inilah maka ia tidak malu-malu
untuk bekerja sama dengan VOC, dan nantinya memang berhasil dalam menumbangkan
kerajaan Blambangan yang memang mulai retak di dalam.
Diperkirakan
tahun 1761 M, akibat dari fitnah Ki mas
Tepasana (besan Pangeran Danuningrat) maka Wong Agung Wilis dicopot dari
jabatannya sebagai PATIH NEGARA BLAMBANGAN digantikan oleh anak sulung Raja, Ki Mas Jali atau (Pangeran Sutajiwa) yang notabene adalah menantu Ki Mas Tepasana. Tentu
Wong Agung Wilis sebagai salah seorang
pemimpin (patih) di Blambangan yang juga punya pengikut sangat tersinggung.
Selama 2 tahun banyak mengembara dan bertapa di pantai selatan (wilayah
Rajekwesi sampai alas Purwa). Sehingga meningkatlah wibawanya dan di segani
oleh kawan maupun lawannya. Dalam pengembaraannya ini ia pernah diminta oleh
kakaknya untuk menumpas bajak laut Bugis
pimpinan Daeng Pagersa yang bermarkas
di Pantai Bang Pakem. 800 orang kekuatan bajak laut itupun tersingkir.
Tapi
Disamping itu, Pangeran Jingga (Pangeran Danuningrat) juga memerintahkan membunuh Rangga Satata perwakilan Bali di Blambangan dengan alasan karena ia telah bertengkar dengan Pangeran
Sutajiwa soal adu jengkerik.
Dari
kedua kesalahan ini maka tahun 1763 M raja Menguwi dan Kelungkung sepakat untuk
mengirimkan Ki Gusti Made Ngurah Sekar
dengan 30 prajurit untuk mengambil
Pangeran Jingga (Pangeran Danuningrat) Tetapi tidak berhasil karena Pangeran Jingga atau Pangeran
Danuningrat menolak dan berjanji akan menghadap sendiri
di kemudian hari.
Selama
dalam tahun 1763 M itu justru secara diam diam Wong Agung Wilis bekerja sama
dengan Bali untuk menghadapi Ki Mas
Tapasana dan Ki Mas Sutajiwa.
Sehingga
dalam tahun 1763 M itu juga raja Menguwi Bali mengirin Ki Perangalas dan Wayahan
Kotang dengan 80 prajurit untuk
bersekutu dengan Pasukan Wong Agung Wilis
beserta pengikutnya. Pasukan sekutu Bali dan
Blambangan pengikut Wong AgungWilis
ini bersatu di bawah pimpinan Singagarit
(kepercayaan wong agung wilis) Tepat pada malam hari (dini hari) masuk
menyerang Kota Blambangan dengan tugas pokok menangkap hidup/mati Ki Mas Tepasana dan Ki Mas Sutajiwa serta menyelamatkan Pangeran Jingga atau Pangeran
Danuningrat Raja Blambangan. Tetapi kenyataannya menjadi lain, kacau. Kota
BLAMBANGAN rusak/hancur terbakar karena kala itu umumnya istana raja di Jawa
tarbuat dari kayu berukir dengan beratapkan
ijuk pohon enau (aren) yang mudah terbakar. Pasukan penyerang dihadapi oleh
40 prajurit pengawal kerajaan
Blambangan sehingga geraknya dapat dihambat. Dengan demikian memberi kesempatan
Raja Blambangan dengan 300 pengiring lari lewat pintu belakang kearah gunung
menuju Jember terus ke Gembong (Pasuruhan). Demikian pula Ki Mas Tepasana dan
Ki Mas Sutajiwa (menantunya) justru lebih cepat larinya meninggalkan Kota Blambangan
dengan arah yang sama ke Jember dan Probolinggo.
Peperangan
ini diceriterakan sangat rinci dalam Babad
Wilis Pupuh 1.40-50 dan II.1-35 [purwasatra 1774]. Belanda juga mencatat
bahwa peristiwa perang saudara di Kota Blambangan itu terjadi pada tahun 1763 M
(Dr. J. Brandes 1894; 343).
Dari
sini telah dapat kita tarik kesimpulan bahwa hancurnya istana Blambangan (sekarang situs Tembokrejo Muncar) itu
adalah pada tahun 1763 M, pada waktu
perang saudara itu terjadi. Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan, bahwa setelah
Pangeran Jingga atau Pangeran Danuningrat
dibunuh di Pantai Seseh, masuk Desa Kaba Kaba kala itu (1764 M) yg masih wilayah
Kerajaan Menguwi Bali. Kemudian diangkatlah Ki Gusti Ngurah Ketut Dewa Kaba-Kaba oleh Raja Menguwi untuk
menjadi Raja Blambangan dibantu Ki Gusti
Ngurah Kuthabedhah dengan 40 prajurit. Raja Blambangan dari Bali ini
ternyata beristri di Desa Lemahbang Dewa
(kota Rogojampi sekarang). Ini berarti Kota
Blambangan di Situs Tembokrejo Muncar itu sudah tidak layak lagi sebagai pusat
pemerintahan yang baru karera telah hancur.
Dengan
demikian dapat kita perhitungkan bahwa Kota
Blambangan sebagai
pusat pemerintahan kerajaan Blambangan yang Hinduistik berlangsung selama 58 tahun (1705-1763 M)
pusat pemerintahan kerajaan Blambangan yang Hinduistik berlangsung selama 58 tahun (1705-1763 M)
KESIMPULAN
- Antara
Babad
Tawangalun (Babad Blambangan),
Babad
Wilis, Hasil penelitian para Ahli dan hasil
temuan dari penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta ternyata saling melengkapi dalam memgungkap
latar belakang sejarah situs (petilasan) Umpak
Sangha.
- Situs Umpak sangha dan situs Tembokrejo adalah reruntuhan dan sisa-sisa Kraton dan KOTA BLAMBANGAN yang bertahan selama 58 tahun.
- Pendiri KOTA BLAMBANGAN lengkap dengan istana kerajaan adalah
Pangeran Danureja (ayah Pangeran
Jingga atau Pangeran Danuningrat) pada tahun 1705 M dalam usia 16 tahun.
-
Hancurnya KOTA BLAMBANGAN dan kembali
menjadi hutan belantara lagi pada tahun 1763 M akhir dari masa pemerintahan Pangeran
Jingga (Pangeran Danuningrat) akibat dari perang saudara dengan para pengikut
Wong agung Wilis (Adik Pangeran Danureja).
-
Situs Umpak Sangha dan Situs
Tembokrejo sebagai sisa - sisa reruntuhan KOTA BLAMBANGAN bersifat
Hinduistik
Oleh : Drs. Samsubur, Msi (naskah
mei 1995)Di Tulis Ulang : Agus Widiyanto (Tour Wisata Sejarah - 081234556356)





Komentar